THELOCAL.ID, MAKASSAR – Laut bukan hanya bentangan biru yang mengelilingi Sulawesi Selatan. Bagi masyarakat Bugis-Makassar, laut adalah ruang hidup, sekolah tanpa bangku, sekaligus sahabat yang diajak bicara. Dari laut, mereka lahir sebagai pelaut tangguh yang namanya sudah masyhur hingga ke Samudra Hindia. Dari laut pula, tumbuh kearifan yang diwariskan lintas generasi—kearifan yang membuat mereka tetap berdiri tegak hingga hari ini.
Jejak di Balik Pinisi
Tak bisa bicara pelaut Bugis-Makassar tanpa menyebut pinisi. Perahu layar dua tiang ini sudah diakui UNESCO sebagai Warisan Budaya Takbenda Dunia pada 2017. Pinisi bukan sekadar alat transportasi, tapi simbol kecerdasan maritim Nusantara.
Dalam tradisi Bugis-Makassar, membangun pinisi tidak hanya soal kayu dan paku. Ada ritual khusus sebelum menebang pohon, doa yang dibacakan sebelum menyusun lunas, hingga upacara syukuran saat perahu siap melaut. Semua itu menunjukkan bahwa teknologi dan spiritualitas berjalan beriringan.
Membaca Bintang, Mendengar Angin
Kearifan pelaut Bugis-Makassar bukan hanya tertulis di lontara, tapi juga terpatri di langit malam. Sejak dulu, mereka berlayar dengan membaca rasi bintang. Bintang timur dijadikan penunjuk arah fajar, sementara bintang selatan memberi tanda musim hujan segera tiba.
Tidak ada kompas canggih, apalagi GPS. Tapi dengan insting dan ilmu yang diwariskan, mereka bisa menembus samudra luas. Angin pun menjadi bahasa yang mereka pahami: semilir angin barat daya menandakan datangnya musim pelayaran, sementara badai dibaca dari perubahan awan dan ombak.
Falsafah di Laut Lepas
Masyarakat Bugis-Makassar punya falsafah hidup yang erat kaitannya dengan laut. Mereka percaya bahwa melaut bukan hanya mencari ikan, tapi juga menjaga keseimbangan. Ada pantangan mengambil hasil laut berlebihan, ada larangan membuang sampah ke laut, dan ada doa khusus sebelum menebar jala.
Falsafah ini berakar pada nilai “siri’ na pacce”, harga diri dan solidaritas. Pelaut Bugis-Makassar menjaga harga diri dengan bekerja keras dan jujur, sekaligus menjaga solidaritas dengan tidak merusak sumber kehidupan bersama.
Jejak di Masa Kini
Kini, kapal-kapal modern sudah banyak berlayar di perairan Sulawesi Selatan. Namun, kearifan pelaut Bugis-Makassar tidak hilang begitu saja. Di kampung nelayan, masih ada anak-anak yang diajari membaca arah angin oleh ayahnya. Di galangan kapal Bulukumba, suara ketukan kayu pinisi masih terdengar.
Bahkan, beberapa pelaut Bugis-Makassar kini merambah dunia pariwisata. Mereka menawarkan wisata layar dengan pinisi, memperkenalkan kearifan nenek moyang kepada generasi muda sekaligus wisatawan mancanegara.
Kearifan pelaut Bugis-Makassar adalah warisan yang tak lekang oleh zaman. Ia bukan hanya tentang kemampuan menaklukkan laut, tapi juga tentang bagaimana manusia menghormati alam. Dalam setiap layar yang terbentang dan setiap ombak yang dihadapi, tersimpan pesan bahwa menjaga laut sama artinya dengan menjaga kehidupan.